Kamis, 18 Oktober 2012

SUKU TORAJA

BAB I
PENDAHULUAN



1.1   LATAR BELAKANG

                Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa. Masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar di pulau- pulau di Indonesia dan juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman budaya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok suku bangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Indonesia dikatakan sebagai pusat peradaban dunia, sebagaimana banyak para peneliti barat yang telah mengungkap hal itu.
            Setiap suku – suku di Indonesia mempunyai keunikannya masing – masing. Seperti Suku Toraja yang di kenal dengan upacara adatnya. Karena mayoritas penduduk Suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya, maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap di jalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat ‘Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkai upacara – upacara adat yang masih di lakukan dan cukup terkenal.

1.2       BATASAN MASALAH

Karena keanekaragaman budaya di Indonesia mempunyai keterikatan antara alam dan masyarakat disekitarnya. Maka terdapat banyak suku di berbagai wilayah di tanah air Indonesia. Salah satu contoh dari keanekaramagaman budaya tersebut  adalah Suku Toraja. Maka pada tulisan ini hanya akan menerangkan Suku Toraja dan informasi yang diterangkan pada penulisan ini terdiri dari : agama yang dianut, penduduk dan masyarakatnya, jumlah penduduk, piramida (produktif dan non-produktik serta rasio. Pada tulisan ini juga di tampilkan image dari penduduk dan masyarakat suku budaya tersebut.

BAB II
SUKU TORAJA


2.1       SEJARAH


Menurut legenda, nenek moyang orang Toraja berasal dari Hindia Belakang (Siam). Mereka ber-imigrasi ke daerah selatan untuk mencari daerah baru. Mereka menggunakan kapal yang menyerupai rumah adat orang Toraja sekarang ini.
Asal-usul tentang pengertian Toraja, ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang Sidendereng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asalnya To= Tau (orang), Raya= dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan nama Tana Toraja.
Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, Suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau lebukan. Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke sulawesi bagian selatan.di pulau ini mereka berdiam di sekitar danau tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke utara lalu menetap di gunung kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku toraja.
Karena keanekaragaman budaya di Indonesia mempunyai keterikatan antara alam dan masyarakat disekitarnya. Maka terdapat banyak suku di berbagai wilayah di tanah air Indonesia. Salah satu contoh dari keanekaramagaman budaya tersebut  adalah Suku Toraja. Maka pada tulisan ini hanya akan menerangkan Suku Toraja dan informasi yang diterangkan pada penulisan ini terdiri dari : agama yang dianut, penduduk dan masyarakatnya, jumlah penduduk, piramida (produktif dan non-produktik serta rasio. Pada tulisan ini juga di tampilkan image dari penduduk dan masyarakat suku budaya tersebut.

   
Gambar 2.1 Suku Toraja


2.2       AGAMA

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.  Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).  Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.  Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.  Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Selain agama yang di anut di atas, agama lainnya adalah agama Islam, dan Protestan.

2.3       LOKASI

    Di Sulawesi Selatan terdapat suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Suku Toraja adalah salat satu dari empat suku yang terdapat di Sulawesi Selatan, masyarakat yang tinggal di Tondok Lepongan Bulan Tondok Matarik Allo sebagai nama negeri mereka sebelum penggunaan nama Toraja oleh para penyiar agama Nasrani.
Suku Toraja mendiami wilayah bagian utara jazirah Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah, Daerah Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Enrekang bagian selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polewali, dan bagian utara berbatasan Propinsi Sulawesi Tengah.
Secara administratif mereka bermukim di daerah Kabupaten Enrekang, daerah Suppiran di kabupaten Pinrang, Mamasa di kabupaten Polewali-Mamasa, daerah galumpang dan Makki di kabupaten Mamuju sedangkan daerah inti pemukiman mereka adalah Kabupaten Tana Toraja.
Letak daerah Tana Toraja terbentang mulai dari KM 280 sampai dengan 355 dari ibu kota propinsi sulawesi selatan.Luas wilayah Tana Toraja adalah 3.205,77 KM atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan terletak antara 119-120 derajat BT dan 02-03 derajat LS.Kondisi top daerah ini terdiri atas pegunungan kurang lebih 40% dataran tinggi kurang lebih 20% dataran rendah kurang lebih 38%, rawa-rawa dan sungai kurang lebih 2%. Tana Toraja berada di atas ketinggian antara 600m-2800m dari permukaan laut.

Gambar 2.2 Peta Lokasi


2.4       MASYARAKAT SUKU TORAJA

Jumlah penduduk suku Tengger kurang lebih berjumlah 650.000.  Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Adat Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Dalam melamar ada beberapa tahapan yang harus dijalankan, antara lain dengan cara pendekatan oleh pihak pria kepada pihak wanita, seperti menanyakan apa sang gadis masih belum ada ikatan dengan pria lain dan sebagainya. Bilamana sang gadis masih belum ada ikatan, pihak keluarga pria mengirim beberapa utusan yang terdiri dari keluarga terdekat sang pria. Tugas mereka adalah untuk melamar sang gadis secara resmi yang disebut ‘massuro’. Bila lamaran diterima oleh pihak wanita, maka kedua pihak lalu berembuk untuk menetapkan besarnya mas kawin atau sompa, juga biaya perkawinan dan hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.
Beberapa hari menjelang pernikahan, keluarga mengadakan mappaci, yaitu malam berbedak, bersolek, dan memerahi kuku atau berinai.Pada hari yang telah ditetapkan, kedua mempelai melakukan akad nikah menurut agama Islam yang dilakukan oleh penghulu, kemudian kedua mempelai melakukan upacara adat, yaitu mempelai pria menyentuh salah satu anggota badan mempelai wanita, seperti ibu jari atau tengkuk. Itu berarti bahwa mempelai wanita telah syah menjadi mempelai pria. Setelah itu, keluarga mempersandingkan kedua pengantin di pelaminan, disaksikan oleh para tamu. Seluruh upacara perkawinan yang diramaikan dengan pesta ini berlangsung di rumah mempelai wanita dan upacara ini dinamakan marola.
Pakaian pengantin pria dari Bugis-Makasar berupa baju jas model tertutup yang disebut baju bella dada, kain sarung songket yang disebut rope. Di pinggang bagian depan terselip sebuah keris pasang timpo (keris yang terbungkus emas separuhnya) atau keris tataroppeng (keris yang terbungkus emas seluruhnya), sedangkan di kepala terdapat hiasan kepala yang disebut sigara. Pengantin wanita memakai baju bodo, kain sarung songket atau rope, dan selendang di bahu. Sanggul pengantin wanita berhiaskan kembang goyang dan perhiasan lainnya berupa kalung bersusun, sepasang bassa atau gelang panjang bersusun, dan anting-anting.


Gambar 2.3 Pakaian Pernikahan Suku Toraja


2.5       KEBUDAYAAN SUKU TORAJA

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermam-macam ragamnya.

“Rambu Solo” adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  • Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  • Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  • Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini :
  • Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)
  • Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.
  • Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat “plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo'.

“Rambu Tuka” adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'.

Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.


Gambar 2.4 Persiapan dalam Upacara Adat Pemakaman

Tarian tradisional tana toraja :

1.         Tarian pa'pangngan
Tarian ini dilakukan oleh gadis-gadis cantik memakai baju hitam atau gelap dan,ornamen khas Toraja seperti kandaure tersebut.

Gambar 2.5 Tarian Pa'pangngan

2.         Tarian Ma'randing
            Pada pemakaman besar untuk orang kasta yang lebih tinggi, tarian prajurit yang disebut Ma’randing dilakukan.untuk menyambut para tamu.pakaian para penari didasarkan pada pakaian prajurit tradisional dan persenjataan pada dasarnya, tarian ma’randing merupakan tarian patriotik atau tarian perang. Kata ma’randing berasal dari kata randing berarti memuliakan sambil menari. Tarian ini diadakan untuk menunjukkan keahlian seseorang dalam memuliakan sambil menari.Tarian ini diadakan untuk menunjukkan keahlian seseorang dalam menangani senjata militer, dan untuk memuji keberanian dan kekuatan almarhum selama hidupnya. Tarian ini dilakukan pada upacara pemakaman seorang anggota berani bangsawan lokal. Para penari juga menemani almarhum ke tempat peristirahatan terakhir ini.


                                                  Gambar 2.6 Tarian Ma'randing


3.         Ma’dandan
Dalam tarian manganda sekelompok orang memakai hiasan kepala raksasa koin  perak(rijksdaalder), tanduk kerbau nyata dan kain sakral terbuat dari tari beludru hitam dengan bunyi bel dan suara teriakan pemimpin,ada tidak bernyanyi.
                                 
                                   Gambar 2.7 Tarian Ma’dandan




Pemakaman

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat

a. “Rante”
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

b. “Tau-tau”

Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.



                         Gambar 2.8 Tempat Penguburan Toraja Yang Diukir




                                                       Gambar 2.9 Tempat Penguburan Toraja 

BAB III
PENUTUP


3.1       KESIMPULAN

          Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, suku, dan adat istiadat. Salah satu contohnya adalah Toraja, suku yang berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik. Dari mulai suku-suku, bahasa, adat perkawinan, upacara adat kematian, makanan khas, dan objek wisata yang beragam dan unik. Tentunya banyak diminati para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara sebagai objek wisata. Namun masyarakat sekarang sering kali tidak menyadari untuk memelihara dan melestarikannya.
 


3.2       SARAN

            Penulis berharap khususnya para remaja sekarang, untuk saling menjaga, merawat, dan melestarikan serta mengembangkan budaya dan keindahan alam di Indonesia. Dengan cara ikut memelihara dan memperbanyak sarana dan prasarana yang menunjang objek wisata di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Toraja. Begitu pula dengan kebudayaan khas dari suku Toraja yang merupakan aset daerah untuk dilestarikan, dikembangkan, dijaga, dan diperkenalkan agar tidak dirampas oleh Negara lain.



                                                      


DAFTAR PUSTAKA



[1]        1) URL:

[2]        2) URL:

[3]        3) URL:

[4]        4) URL:
                http://telukbone.ucoz.net/publ/2-1-0-8

[5]        5) URL:






Tidak ada komentar:

Posting Komentar